Pandangan Tradisional.
Pandangan pertama, atau juga sering disebut pandangan tradisional, menganggap bahwa manusia itu terdiri dari dua komponen utama yang dapat dipilah-pilah, yaitu jasmani dan rohani (dikhotomi). Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Dengan kata lain pendidikan jasmani hanya sebagai pelengkap saja. Di Amerika Serikat, pandangan dikotomi ini muncul pada akhir abad 19 atau antara tahun 1885 - 1900. Pada saat itu, pendidikan jasmani di pengaruhi oleh sistem
Eropah, seperti: Sistem Jerman dan Sistem Swedia, yang lebih menekankan pada perkembangan aspek fisik (fitnes), kehalusan gerak, dan karakter siswa, dengan gimnastik sebagai medianya. Pada saat itu, pendidikan jasmani lebih berperan sebagai “medicine” (obat) daripada sebagai pendidikan. Oleh karena itu, parapengajar pendidikan jasmani lebih banyak dibekali latar belakang akademis kedokteran dasar (medicine).
Pandangan pendidikan jasmani berdasarkan pandangan dikhotomi manusia ini secara empirik menimbulkan salah kaprah dalam merumuskan tujuan, program pelaksanaan, dan penilaian pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan jasmani ini cenderung mengarah kepada upaya memperkuat badan, memperhebat keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya saja. Selain dari itu, sering juga pelaksanaan pendidikan jasmani ini justru mengabaikan kepentingan jasmani itu sendiri, hingga akhirnya mendorong timbulnya pandangan modern.
Pandangan Modern.
Pandangan modern, atau sering juga disebut pandangan holistik, menganggap bahwa manusia bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang terpilah-pilah. Manusia adalah kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu. Oleh karena itu pendidikan jasmani tidak hanya berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan satu komponen saja.
Di Amerika Serikat, pandangan holistik ini awalnya dipelopori oleh Wood dan selanjutnya oleh Hetherington pada tahun 1910. Pada saat itu pendidikan jasmani dipengaruhi oleh “progressive education”. Doktrine utama dari progressive education ini menyatakan bahwa semua pendidikan harus memberi kontribusi terhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan pendidikan jasmani mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perkembangan tersebut. Pada periode ini pendidikan jasmani diartikan sebagai pendidikan melalui aktivitas jasmani (education through physical).
Pandangan holistik ini, pada awalnya kurang banyak memasukkan aktivitas sport karena pengaruh pandangan sebelumnya, yaitu pada akhir abad 19, yang menganggap sport tidak sesuai di sekolah-sekolah. Namun tidak bisa dipungkiri sport terus tumbuh dan berkembang menjadi aktivitas fisik yang merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Sport menjadi populer, siswa menyenanginya, dan ingin mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di sekolah-sekolah hingga para pendidik seolah-olah ditekan untuk menerima sport dalam kurikulum di sekolahsekolah karena mengandung nilai-nilai pendidikan. Hingga akhirnya pendidikan jasmani juga berubah, yang tadinya lebih menekankan pada gimnastik dan fitness menjadi lebih merata pada seluruh aktivitas fisik termasuk olahraga, bermain, rekreasi atau aktifitas lain dalam lingkup aktivitas fisik.
Di Indonesia, salah satu contoh definisi pendidikan jasmani yang didasarkan pada pandangan holistik ini dikemukakan oleh Jawatan Pendidikan Jasmani (sekarang sudah dibubarkan) yang dirumuskan tahun 1960, sebagai berikut, “Pendidikan jasmani adalah pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktivitas manusia berupa sikap, tindak, dan karya yang diberi bentuk, isi, dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita kemanusiaan”.
Definisi yang relatif sama, juga dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer (1992) sebagai berikut, “pendidikan jasmani merupakan bagian dari program pendidikan umum yang memberi kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh. Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan gerak dan pendidikan melalui gerak, dan harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan definisi tersebut”.
Definisi pendidikan jasmani dari pandangan holistik ini cukup banyak mendapat dukungan dari para ahli pendidikan jasmani lainnya. Misalnya, Siedentop (1990), mengemukakan, “pendidikan jasmani modern yang lebih menekankan pada pendidikan melalui aktivitas jasmani didasarkan pada anggapan bahwa jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pandangan ini memandang kehidupan sebagai totalitas”.
Wall dan Murray (1994), mengemukakan hal serupa dari sudut pandang yang lebih spesifik, “masa anak-anak adalah masa yang sangat kompleks, dimana pikiran, perasaan, dan tindakannya selalu berubah-ubah. Oleh karena sifat anak-anak yang selalu dinamis pada saat mereka tumbuh dan berkembang, maka perubahan satu element sering kali mempengaruhi perubahan pada eleman lainnya. Oleh karena itulah, adalah anak secara keseluruhan yang harus kita didik, tidak hanya mendidik jasmani atau tubuhnya saja.” Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk mencapai perkembangan individu secara menyeluruh. Namun demikian, perolehan keterampilan dan perkembangan lain yang bersifat jasmaniah itu juga sekaligus sebagai tujuan. Melalui pendidikan jasmani, siswa disosialisasikan ke dalam aktivitas jasmani termasuk keterampilan berolahraga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila banyak yang meyakini dan mengatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan menyeluruh, dan sekaligus memiliki potensi yang strategis untuk mendidik.
Pandangan pertama, atau juga sering disebut pandangan tradisional, menganggap bahwa manusia itu terdiri dari dua komponen utama yang dapat dipilah-pilah, yaitu jasmani dan rohani (dikhotomi). Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Dengan kata lain pendidikan jasmani hanya sebagai pelengkap saja. Di Amerika Serikat, pandangan dikotomi ini muncul pada akhir abad 19 atau antara tahun 1885 - 1900. Pada saat itu, pendidikan jasmani di pengaruhi oleh sistem
Eropah, seperti: Sistem Jerman dan Sistem Swedia, yang lebih menekankan pada perkembangan aspek fisik (fitnes), kehalusan gerak, dan karakter siswa, dengan gimnastik sebagai medianya. Pada saat itu, pendidikan jasmani lebih berperan sebagai “medicine” (obat) daripada sebagai pendidikan. Oleh karena itu, parapengajar pendidikan jasmani lebih banyak dibekali latar belakang akademis kedokteran dasar (medicine).
Pandangan pendidikan jasmani berdasarkan pandangan dikhotomi manusia ini secara empirik menimbulkan salah kaprah dalam merumuskan tujuan, program pelaksanaan, dan penilaian pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan jasmani ini cenderung mengarah kepada upaya memperkuat badan, memperhebat keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya saja. Selain dari itu, sering juga pelaksanaan pendidikan jasmani ini justru mengabaikan kepentingan jasmani itu sendiri, hingga akhirnya mendorong timbulnya pandangan modern.
Pandangan Modern.
Pandangan modern, atau sering juga disebut pandangan holistik, menganggap bahwa manusia bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang terpilah-pilah. Manusia adalah kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu. Oleh karena itu pendidikan jasmani tidak hanya berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan satu komponen saja.
Di Amerika Serikat, pandangan holistik ini awalnya dipelopori oleh Wood dan selanjutnya oleh Hetherington pada tahun 1910. Pada saat itu pendidikan jasmani dipengaruhi oleh “progressive education”. Doktrine utama dari progressive education ini menyatakan bahwa semua pendidikan harus memberi kontribusi terhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan pendidikan jasmani mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perkembangan tersebut. Pada periode ini pendidikan jasmani diartikan sebagai pendidikan melalui aktivitas jasmani (education through physical).
Pandangan holistik ini, pada awalnya kurang banyak memasukkan aktivitas sport karena pengaruh pandangan sebelumnya, yaitu pada akhir abad 19, yang menganggap sport tidak sesuai di sekolah-sekolah. Namun tidak bisa dipungkiri sport terus tumbuh dan berkembang menjadi aktivitas fisik yang merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Sport menjadi populer, siswa menyenanginya, dan ingin mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di sekolah-sekolah hingga para pendidik seolah-olah ditekan untuk menerima sport dalam kurikulum di sekolahsekolah karena mengandung nilai-nilai pendidikan. Hingga akhirnya pendidikan jasmani juga berubah, yang tadinya lebih menekankan pada gimnastik dan fitness menjadi lebih merata pada seluruh aktivitas fisik termasuk olahraga, bermain, rekreasi atau aktifitas lain dalam lingkup aktivitas fisik.
Di Indonesia, salah satu contoh definisi pendidikan jasmani yang didasarkan pada pandangan holistik ini dikemukakan oleh Jawatan Pendidikan Jasmani (sekarang sudah dibubarkan) yang dirumuskan tahun 1960, sebagai berikut, “Pendidikan jasmani adalah pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktivitas manusia berupa sikap, tindak, dan karya yang diberi bentuk, isi, dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita kemanusiaan”.
Definisi yang relatif sama, juga dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer (1992) sebagai berikut, “pendidikan jasmani merupakan bagian dari program pendidikan umum yang memberi kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh. Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan gerak dan pendidikan melalui gerak, dan harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan definisi tersebut”.
Definisi pendidikan jasmani dari pandangan holistik ini cukup banyak mendapat dukungan dari para ahli pendidikan jasmani lainnya. Misalnya, Siedentop (1990), mengemukakan, “pendidikan jasmani modern yang lebih menekankan pada pendidikan melalui aktivitas jasmani didasarkan pada anggapan bahwa jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pandangan ini memandang kehidupan sebagai totalitas”.
Wall dan Murray (1994), mengemukakan hal serupa dari sudut pandang yang lebih spesifik, “masa anak-anak adalah masa yang sangat kompleks, dimana pikiran, perasaan, dan tindakannya selalu berubah-ubah. Oleh karena sifat anak-anak yang selalu dinamis pada saat mereka tumbuh dan berkembang, maka perubahan satu element sering kali mempengaruhi perubahan pada eleman lainnya. Oleh karena itulah, adalah anak secara keseluruhan yang harus kita didik, tidak hanya mendidik jasmani atau tubuhnya saja.” Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk mencapai perkembangan individu secara menyeluruh. Namun demikian, perolehan keterampilan dan perkembangan lain yang bersifat jasmaniah itu juga sekaligus sebagai tujuan. Melalui pendidikan jasmani, siswa disosialisasikan ke dalam aktivitas jasmani termasuk keterampilan berolahraga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila banyak yang meyakini dan mengatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan menyeluruh, dan sekaligus memiliki potensi yang strategis untuk mendidik.